Kamis, 01 Mei 2014

jeprat jepret

Sunset, sunshine, just like rainbow. Yeah just like you mom ^_^

Semua Gara-Gara Kucing!

“Hatchim...” Sudah tiga kali Ayra bersin-bersin gara-gara kucing yang terus membuntutinya sejak Ia pulang kuliah. Sebenarnya, awalnya kucing itu ada di perempatan jalan. Tapi entah kenapa ketika Ayra lewat ia langsung mengikutinya. Mungkin karena mencium bau yang berasal dari kantong kresek hitam yang dibawanya, isinya pecel ikan lele yang barusan dibeli Ayra untuk lauknya makan malam. “Aduuh nih kucing, ga tau apa kalo gue alergi ama bulunya?” Omelnya pada kucing yang sudah jelas memang tidak tau. Tapi kucing itu masih saja nongkrong di depan kamar kos Ayra. Seekor kucing berwarna putih bersih, yaa sedikit kotor-kotor sih, tapi kucing itu tak seperti kucing pinggir jalan biasanya. Terlihat seperti terawat tapi lama tidak dibersihkan. Kucing itu terus saja mengeong di depan pintu kamar kos Ayra. Sesekali Ayra menengok dari jendela sambil melahap makan malamnya. Dan akhirnya Ayra menyerah, dibukanya pintu kamar. Tiap Ayra membuka pintu kamar, kucing itu bangkit dari duduknya seperti seorang tamu yang sudah dipersilahkan masuk. “Udah udah sana dooong.” Hatchimm… “Gak ada. Gak ada makanan disini.” Omel Ayra. Tapi si kucing membalasnya dengan mengeong lagi seolah menjawab Ayra. “Iya deh. Iya. Abis males sih. Kamu kalo dikasih pasti minta lagi.” Hatchimm… Ayra kembali bersin-bersin. Si kucing tentu saja masih menjawabnya dengan mengeong. “Ampun deh. Ya udah, tunggu di sana. Di sana lho di sana. Ntar aku ambilin. Tapi tunggu di sana.” Untungnya si kucing menurut pada perintah Ayra. Dan duduk di ujung lororng seperti yang ditunjuk telunjuk Ayra. Gara-gara kucing itu malam ini Ayra membagi makanannya. Tak lama Ayra keluar dengan sepotong kepala lele goreng di tangannya. Ia melempar asal ke dekat kucing yang langsung melahapnya. Buru-buru Ayra tutup kembali pintunya dengan rapat. Takut sampai si kucing masuk. “Hadeeeh… Kalo bukan karena kamu salah satu binatang kesayangan Rosulullah mah males aku.” Masih celoteh Ayra. *** Pagi itu Ayra presentasi di jam pertama, sambil grasak-grusuk Ia mengunci pintu kamarnya. Hatchimm… Ayra tiba-tiba bersin. “Tuh kucing ngapain masih di situ aja sih.” Sontak Ayra kembali bersin-bersin. Di ujung lorong kosan si kucing putih yang semalam masih terduduk di situ. Buru-buru Ayra pergi menjauh. Tapi kucing itu malah mengikutinya dari belakang. Ayra menengokkan kepalanya ke belakang, si kucing masih saja mengikutinya. Ayra sedikit berlari kecil, lalu berjalan seperti biasa lagi. Pelan-pelan dia melirikkan sedikit matanya, kucing putih itu masih saja di mengikutinya. “Stop! Diem di situ! Duduk!” perintah Ayra. “Iya, bener. Bener di situ. Jangan ngikutin gue ke kampus. Oke?!” Tanpa sadar orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar Ayra memperhatikannya. Ayra cengengesan malu-malu. Alah apa banget sih tuh kucing, masih gerutunya dalam hati sambil terus berjalan ke gerbang samping kampus yang jaraknya lebih dekat dari kosannya ketimbang gerbang utama. *** “Raaaaaaa…” Panggil salah satu teman dekatnya, Nepha. “Opo seh pha?” Ayra masih setengah mengacuhkannya, sibuk dengan gadget di tangannya. “Alaaah sok iye lu, noh!” teman yang satunya, Meta, menengokkan kepala Ayra dengan kedua tangannya ke arah lelaki yang ada di ujung koridor kelas, sedang duduk mengobrol bersama teman-temannya. “Hihihi…” Ayra langsung nyengir malu-malu. “Eh, eh tapi denger-denger katanya dia deket sama si Helwa lho. Ehemm ada yang kecewa nih.” Nepha melirikkan mata meledek Ayra. “Ooo… Terus urusannya sama gue apa?” Ayra sok sibuk lagi dengan gedgetnya. “Empreeet. Apa urusannya, apa urusannya, di dalemnya mah udah merembes tuh. Hahaha” kali ini Meta yang meledeknya. Ayra hanya membalasnya dengan tertawa bersama mereka. *** Dibuat kaget Ayra dengan kucing yang tiba-tiba muncul dari balik pintu pagar samping kampus yang biasa dia lewati. Masih kucing putih yang tadi, yang semalam. “Hatchimm..” Ayra mulai bersin-bersin lagi. “Astagfirullah nih kuciiiiiing. Apaan lagi sih?” Kucing itu hanya menjawab dengan mengeong. “Ampun deh. Ya udah, tapi jaraknya jangan deket-deket. Yah?!” Kembali kucing putih itu mengikuti Ayra dari belakang. Dan begitulah terus hingga beberapa minggu kemudian. Tiap Ayra pergi ke kampus, kucing putih itu mengikuti Ayra, seperti orang tua yang mengantarkan anaknya ke sekolah, menunggu di gerbang samping kampus sampai Ayra menjauh dari pandangannya, lalu berbalik kembali lagi ke ujung lorong kosan Ayra. Siang harinya, kucing putih itu kembali menunggu lagi di gerbang samping kampus sampai Ayra muncul, bahkan walaupun itu hingga malam hari. “Ra, itu kucing siapa sih? Lo melihara kucing? Bukannya lo alergi ya?” Itu kata Nepha yang akhirnya menanyakannya, karena akhir-akhir ini setiap main ke kosan Ayra selalu ada kucing putih itu yang langsung mengikuti dan menunggui mereka dari luar. “Toh bukan gue yang minta kucing itu begitu, hehe…” Ayra sebenarnya heran, tapi dia tidak mau terlalu memikirkan. Apalagi entah sejak kapan Ayra jadi merasa kesepiannya berkurang karena ada kucing itu yang mengikutinya. Gara-gara Si kucing itu juga Ayra sudah terbiasa selalu membagi makanannya, termasuk membagi cerita. Yah walaupun dia tidak bisa dekat-dekat dengan kucing itu karena Ayra alergi bulunya. Dan belakangan ini kucing putih yang dinamai Ayra dengan nama Emput itu tidak lagi duduk atau tidur di ujung lorong. Ayra sudah membolehkannya agak mendekat, tapi masih di luar kamarnya. *** Ayra melihat laki-laki itu berjalan dengan salah seorang teman sekelas Ayra, Helwa. Gadis cantik keturunan arab, pintar, mumpuni, eksis. Mengobrol asyik sambil sekali-kali tertawa, membuat Ayra hanya bisa merengut melihatnya dari kejauhan. “Hayo lhooo…” Teriak Meta mengagetkannya dari belakang. “Ketauankan, ngeliatinnya biasa aja kaleee. Hahaha” Ledek Nepha selanjutnya. “Apaan sih.” Ayra pura-pura tidak tahu. “Yaelah Ra, makanya, jangan cuma ngeliatin dia dari jauh doang. Emangnya dia sinetron, yang cuma lu tontonin doang gitu?” Kata Nepha sambil merangkul pundak sahabatnya. “Masa udah dua tahun gak ada kemajuan sih? Gitu-gitu aja.” Lanjut Nepha. “Yaah, namanya juga Ayra. Coba deh, pikir deh, gimana coba orang itu bisa tau kalo lo aja beraninya cuma nontonin dia doang. Orang mah nyapa kek seenggaknya.” Timpal Meta kali ini. “Idih apaan lu Met, biasanya juga lu diem. Hehe” Ayra coba mengalihkan pembicaraan. “Eh bener tuh katanya Meta. Boro-boro mau kenal deket, dia tau nama lo aja nggak.” Ternyata gagal usaha Ayra. “Hzzzz, udah ah udah. Apaan si…” “Hahay ada yang ngeles tuh.” “Udah deh sesame jones gak usah banyak ngomong, hahaha” Tutup Ayra sambil berlari ke dalam kelas. Iya, laki-laki yang sudah diperhatikan Ayra dua tahun belakangan ini, memang tidak Ayra tahu apa dia benar-benar mengenal Ayra juga apa tidak. Pertama kali Ayra mengenalnya adalah ketika mereka mengikuti pelatihan kepenulisan yang sama, dulu ketika awal Ayra menjadi mahasiswa di kampusnya. Itu juga bukan karena mereka memang benar berkenalan, tapi karena mereka satu kelompok kajian saja dan kebetulan laki-laki itu ditunjuk untuk memberitahu kiat-kiat menulisnya, sehingga sudah pasti dia menyebutkan namanya. Namanya Zein, senior dua tahun diatas Ayra. Gedung kelasnya sama, jurusannya pun sama, jadi mereka sering berpapasan kalau di kampus. Hanya saja Ayra tidak berani menyapanya ketika mereka berpapasan muka. Pasti Ayra hanya memalingkan wajahnya, pura-pura tidak lihat. Lagi pula, apa pantasnya dia dengan Kak Zein dengan segudang prestasinya. Jauhlah, pikirnya. Tapi justru karena itulah, Ayra semakin 'mengamati' nya. *** “Ra, itu kucing kenapa tumben ngikutin lo sampe dalem kampus?” Tanya Nepha penasaran ketika melihat Ayra datang dibuntuti Emput, si kucing putih. “Nggak tau ah, males juga gue nyuruh-nyuruhnya. Buang tenaga.” “Lah elu, kok masuk? Emang udah sembuh?” Kini Meta mengalihkan pembicaraan. “Panasnya sih udah turun dari kemaren juga, tinggal lemesnya. Tapikan hari ini kan gue presentasi.” Jawab Ayra lagi. Sampai di depan kelasnya, Ayra berbalik ke arah si kucing putih, “Mput, tungguin sini yah. Kucing gak boleh ikut kuliah, hehe” Perintah Ayra sekenanya. Tapi kali itu Emput tidak menurut. Kucing itu malah berlari ke arah kelas lain. Ayra heran dan langsung mengejarnya, “Eeh Mput, jangan ke situ… mau keman…a?” Ayra kaget kebingungan. Kucing putih itu mendekati Zein yang ada di depan kelas, merangsek manja kepadanya. Adduh! Mak.. Ayra bingung dan mulai grogi. “Ron??? Akhirnya… kamu kemana aja dicari-cari?” Zein malah menyambut kucing itu hangat. Bahkan langsung mengangkatnya ke pangkuan. Dia terlihat seperti pemelihara sebenarnya kucing putih itu. “Hah???” Ayra makin terkaget-kaget. Jadi, itu kucingnya Kak Zein? “Iya, ini kucingku.” jawab Zein seolah tau apa yang mau ditanyakan Ayra. “Udah sebulanan ini ilang. Jadi selama ini kamu yang merawatnya?” Lanjutnya. Ayra cuma bisa mengangguk kaku. “Eh, tadi kamu manggil Ron siapa? Emput? Hahaha” Tawa Zein pecah karena nama baru yang diberikan untuk kucingnya. “Yaah, mana gue tau kalo dia cowo…” Jawab Ayra setengah berbisik malu. Jadi? Itu kucingnya Kak Zein? Dan sekarang gue lagi ngomong sama Kak Zein? Gara-gara kucing itu? Bisik Ayra dalam hatinya, masih tak percaya. “Shhutt, udah ada dosennya hoi,” teriak Meta memberitahukan. Dan seolah membangunkan dari mimpi indah bagi Ayra. Ayra langsung berbalik tanpa berkata apa-apa pada Zein dan Emput. Atau Ron lebih tepatnya. “Eh, makasih ya…” suara ka Zein menghentikan langkah Ayra dan membuatnya membalikkan setengah badannya, “… Ayra Nafishaa.” Senyum Zein terkembang. Ayra kaget, matanya terbelalak. Hampir saja dia tidak bisa menahan teriakan bahagianya. Ayra hanya mengangguk membalas senyuman dan berbalik. Ayra berlari sambil berteriak kegirangan tanpa suara. DIA TAU NAMA GUE, DIA TAU NAMA LENGKAP GUEEE… Meta dan Nepha hanya bisa tersenyum melihatnya. Akhirnya… ***

Selasa, 22 April 2014

221213

"Alhamdulillaaah..." Kurapikan buku-buku yang tersebar tak beraturan di sekelilingku. Akhirnya tugas yang sudah kukerjakan sejak sore tadi rampung terselesaikan. Karena terlalu asiknya mengerjakan tugas, sebenarnya karena deadlinenya pun esok hari, tak terasa sekarang sudah pukul 12 malam. Tentulah di luar langit sangat gelap, tak ada lagi suara-suara bising seperti siang hari. Benar-benar sepi sunyi. Udara dinginnya pun sudah terasa menyentuh kulit. Inginnya aku langsung merebahkan badan di kasurku, tapi mataku yang mulai berat masih tak mau terpejam. Iseng kubuka-buka salah satu akun sosial mediaku yang sudah on dari tadi namun belum sempat kukotak-katik. Berderet status yang tampil di beranda, setelah kubaca-baca baru sadar aku kalau hari ini tanggal 22 Desember, Hari Ibu. Kartu-kartu ucapan, video, rangkaian kata-kata yang diposting teman-teman sosial media kuperhatikan satu demi satu. Aku menghela napas panjang. Ada semburat kerinduan yang tiba-tiba muncul. Terasa ada yang mulai menggelayut di mataku yang lama-kelamaan memburamkan penglihatanku. Kuseka kedua mataku sebelum airmata menetes. Anganku melayang pada memori 22 Desember beberapa tahun yang lalu, tepatnya enam tahun yang lalu. Tersenyum getir aku mengingatnya, kenangan lucu yang indah sekaligus memerikan hati untuk diingat. Baru kali itu aku merasa perlu memberikan sesuatu pada momen Hari Ibu. Walaupun aku tahu untuk memberi kepada Ummi bisa kapan saja tanpa perlu menunggu momen-momen seperti ini. Tapi aku merasa hanya perlu saja. Ingin. Ingin ikut merasakan bagaimana rasanya mengucap Hari Ibu bahkan jika hanya lewat tulisan dikarenakan aku malu mengatakannya. Kira-kira sudah dari dua minggu sebelumnya aku mendapatkan ide itu. Dan dari sejak dua minggu itulah aku berusaha mengumpulkan uang jajanku yang tak seberapa karena kami memang berasal dari keluarga sederhana. Jauh-jauh hari aku bingung memikirkan, "apa yah yang ingin kuberikan pada Ummiku?" Sampai akhirnya ketika aku menonton sebuah acara di televisi, ada tayangan iklan produk susu di deretan jeda komersial. Susu formula untuk usia 50 tahun ke atas. "Aku ingin ummiku sehat, aku ingin ummiku minum susu itu. Aku akan membeli susu itu." Begitulah pikirku yakin waktu itu. Kutabung benar uang bekalku yang Ummi berikan tiap sebelum aku berangkat ke sekolah. Setiap paginya aku diberi bekal sekitar enam ribu rupiah jika dengan ongkos naik angkot dan ojeg. Sesekali ketika matahari tak terik menebar sinarnya, aku mengalah untuk tidak menggunakan ojeg, berjalan kaki saja, supaya uang ongkos ojeg itu bisa aku gunakan untuk tambahan menabung. Lalu akhirnya, tepat satu hari sebelum Hari Ibu, sepulang sekolah aku mengajak sepupu perempuan yang sangat dekat denganku pergi ke sebuah swalayan yang tak begitu jauh dari sekolah untuk membeli susu itu dengan berbekal uang Rp. 25000 di dalam saku. Sampai di sana, aku sudah menemukan susu yang ingin kubeli, berderet rapi di tempatnya. Tapi aku kecewa, harga yang tertera di pinggiran rak adalah Rp. 50000. "Uangku gak cukup untuk membelinya, fir.." kepalaku tertunduk lemas. "Udah gak apa-apa, kita cari kado yang lain." Hibur sepupuku waktu itu. Sesal juga rasanya di hatiku, coba saja aku menabung dari sebulan sebelumnya, mungkin uangnya akan cukup atau bahkan lebih. Mau tak mau aku cari saja kado yang lain. Mencari-cari mungkin sudah lebih dari satu jam, tak juga kutemukan apa yang cocok untuk kuberikan pada Ummi. Sampai akhirnya entah kenapa waktu itu aku menjatuhkan pilihanku pada seperangkat sisir berbagai tipe yang dikantongi dengan tas berbahan plastik transparan. Entahlah, dalam benakku saat itu, Ummi sering mencari-cari sisir ketika ingin menyisir rambutnya yang mulai beruban. Mungkin karena Ummi lupa atau aku yang sembarangan menaruh sisirnya setelah meminjamnya. "Kalau Ummi punya banyak sisir akan lebih mudah, apalagi ada tasnya seperti ini. Ummi juga bisa pilih-pilih sisir yang cocok dan enak dipakai." Hanya dengan kesimpulan sesimpel itulah yang terlintas di benakku saat itu sehingga akhirnya aku membeli sisir itu. Tak enak hati juga aku kepada sepupuku kalau terlalu lama menemaniku. Keesokan harinya, malam tanggal 22 Desember enam tahun yang lalu, ketika Ummi menonton televisi, aku memeluknya dari belakang sembari kusodorkan seperangkat sisir yang sudah kubungkus dengan kertas kado sebelumnya. "Selamat Hari Ibu, Mi." Malu-malu kuucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang jarang terdengar di lingkungan keluargaku, karena aku ataupun keluargaku tidak biasa melakukan hal yang seperti itu. Waktu itu Ummi menerimanya dengan ungkapan sangat senang. Wajahku menunduk karena malu sehingga tidak bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah Ummi. Apalagi ketika bungkusan kado itu dibuka, aku takut sekali Ummi tidak menyukainya atau malah menertawakannya. "Terima kasih Ma'wa sayang... Terima kasih banyak." Ternyata itu kata Ummi sambil memelukku. Kuberanikan menatap wajah Ummi, matanya berkaca-kaca, dan ekspresinya seperti tidak bisa berkata apa-apa lagi sehingga terus berucap terima kasih. "Maaf Ummi, Ma'wa cuma bisa kasih ini." "Gak apa-apa Ma'wa, Ummi benar-benar butuh kok sisir ini. Jadi tidak harus cari-cari sisir lagi kalo mau nyisir rambut." Kata Ummi lagi membuatku lega. Lalu kupijat kedua pundak Ummi, seperti yang biasa kulakukan tiap malam sebelum beliau tidur karena kata Ummi pijatanku enak. Dan obrolan kami pun terus berlanjut hingga akhirnya Ummi tertidur. Senangnya aku hari itu, 'misi' terlaksana dengan baik. Tentu saja aku tahu kado yang kuberikan di hari itu, 22 Desember enam tahun yang lalu, adalah kado pertama yang aku berikan sebagai hadiah Hari Ibu. Tapi tanpa aku sadari kalau bisa saja itu pun menjadi hadiah terakhir untuk Hari Ibu Ummiku. Dan ternyata memang begitu. Kalau saja waktu itu aku tahu, pastilah tak akan kuhadiahi dengan sesuatu yang tidak membanggakan seperti itu. Kalau saja waktu itu aku tahu, aku akan menabung sebulan atau bahkan berbulan-bulan sebelumnya. Kalau saja waktu itu aku tahu, setidaknya aku akan menghabiskan lebih banyak waktu menyenangkan bersamanya. Hanya yang menyenangkan saja, tanpa membuatnya kesal. Tapi kalau saja waktu itu aku tahu... Ah, ya. Aku lebih memilih untuk tidak tahu. Karena kalau saja waktu itu aku tahu, aku tak akan mampu membayangkan bagaimana hidupku tanpanya. Kuseka lagi bulir-bulir airmata yang kini jatuhnya tak terbendung lagi. Masih sedikit tersedu-sedu namun aku berusaha menahannya agar tidak bersuara. Beberapa menit kulampiaskan kerinduan berkepanjangan itu dengan tangisan yang hanya aku dan Allah yang mengetahuinya. Kutarik napas panjang sedalam-dalamnya berusaha membuat perasaanku sendiri tenang. Kulirik jam dinding yang tergantung di tembok yang ada di hadapanku, pukul 1 pagi. Sebelum kututup laptopku dan membereskan sisa buku juga alat tulis yang masih berantakan, kusempatkan memposting sebuah tulisan pada akun sosial mediaku. "Selamat Hari Ibu, Ummi... Bagai mentari di pagi hari yang muncul dan menyinari bumi dengan cahayanya, begitulah kau dengan cahayamu menyinari hidupku, melengkapi keindahan alam tempatku bernapas, cintamu yang tak hanya seindah pelagi yang hanya datang sesekali, namun sehangat mentari yang terbit di awal kehidupanku, Aku tahu Ummi, walau daun dari pohon waktumu telah habis berguguran, rindangnya kasihmu akan selalu melindungiku, memelukku, tanpa bisa mataku menangkapnya, tanpa mampu panca indraku merabanya..." Tak ingin terlalu larut dalam perasaanku, karena Ummi pernah berpesan untuk tidak sering menangisinya. Segera kututup laptopku dan beranjak tidur. Dengan secuil harapan setidaknya aku bisa bertemu dengannya, Ummiku, walaupun hanya dalam bunga tidur yang bahkan tak nyata.

Jumat, 11 April 2014

sebuah kerinduan

Rindurindurindurindurindu R.I.N.D.U Ejakan itu untukku Ibu Bukankah dulu engkau yang mengajariku mengejanya? Namun mengapa sekarang engkau mengajariku merasakan, Tanpa memberi kunci jawabannya? Lalu bagaimana kudapatkan hasil nilainya? Tak ada yang dapat ku contek disini Ibu Bukankah berarti harus kurangkai rumusnya sendiri? Namun sekian tahun aku berkutat Aku hanya itu-itu saja 1 + 1… Bukankah seharusnya 2, Ibu? Sayangnya tetap saja jawaban akhirku sama 1 + 1 = 1 Lalu apakah nilai hasilku, NOL BESAR ?! 07april12

late post from the past

Tersadar. Aku merindukannya. S.E.L.A.L.U…! Terhenyak aku membimbang Bukan lagi pada keraguan Pun ketidak yakinan Namun sejumput kekhawatiran yang merangkak Menjadi sebuah ketakutan Bukan lagi karena penantian Aku masih menunggu jika Ia masih mencoba tuk datang Namun ini semua berhujung pada titik kesucian Itulah yang sangat kutakutkan Aku sadar, mungkin ini tak lagi semurni kesucian Itulah yang sangat kutakutkan Aku takut ini bukan lagi karena-MU Aku takut ini hanya sebuah NAFSU belaka! Ridhokah Engkau dengan ini? Aku hanya takut ini bukanlah yang Kau mau Harus bagaimana aku, Robbi? Yang aku tau sekarang, hanya dia yang bisa mewarnaiku Yang aku mau sekarang, hanya ada dia disisiku dan selalu seperti itu S.E.T.E.R.U.S.N.Y.A ! 07feb12 Yaah finally, thats just from the past. Baca ini jadi berasa bodooh banget. Ya gei ya jijik. Apa yang pada waktu itu dielu-elukan, apa yang pada saat itu diagung-agungkan, ternyata memang hanya sebuah ke bodohan. Yang sangat-sangat tak diharapkan untuk terulang. Untung itu cuma masa lalu dan tidak menjadi masa depan.hahaha Semoga Allah masih memberi peluang untuk mendapatkan yang lebih baik. Aamiin

Kamis, 03 April 2014

Ruang Yasmin Nomor Lima

Ku tarik nafas dalam ketika ku lihat nama ruangan lengkap dengan nomornya yang tertera di bagian atas pintu. Ku genggam pegangan pintu model lama bercat coklat tua, sedikit mendorongnya agar terbuka. Tak banyak perabotan mengisi kamar ini. Barang-barang yang ada pun ditata dengan rapi dan bersih sehingga memberi kesan kamar ini terlihat lebih luas dan lapang. Udara sejuk, bersih, bercampur dengan bau obat-obatan tercium pula seperti di luar kamar ini ataupun ruangan-ruangan di rumah sakit pada umumnya. Tak terdengar suara bising sedikitpun dari sini. Hanya sesekali terdengar derap kaki orang berjalan santai atau terburu-buru dari luar. Begitu tenang. Di depanku, di seberang ruangan, terdapat dua buah sofa. Satu sofa berukuran pendek dan satu lagi berukuran panjang, keduanya ditata berjejer merapat ke dinding. Di atasnya tiga jendela besar terbentang, memberi pencahayaan yang baik untuk kamar berukuran sedang ini dengan tirai putih yang menghiasinya. Sebuah pendingin ruangan di atasnya, yang sesekali dinyalakan. Ku langkahkan kakiku perlahan agar tidak menimbulkan suara, menghampiri sofa panjang yang ada di depanku itu, bermaksud mendudukinya. Tak jauh dari sofa yang ku duduki, sebelah kanannya adalah kamar mandi sederhana berukuran 2x1,5 meter. Di sebelah kiriku, atau pojok kamar ini, sebuah meja kayu berbentuk segi empat yang memiliki laci-laci di bawahnya, ditutupi kain biru dongker bermotif bunga-bunga. Tepat di ujung pandanganku adalah pintu yang tadi ku gunakan untuk masuk. Satu-satunya pintu yang digunakan untuk masuk dan keluar ruangan ini. Di samping kiri pintu itu, ada sebuah kulkas model satu pintu berwarna putih yang mulai memudar. Tak penuh isinya, hanya buah-buahan, beberapa makanan kecil, dan dua botol air mineral satu liter. Seukuran dengan kulkas yang ada disampingnya, sebuah lemari kayu berpintu dua yang hanya berisi beberapa helai pakaian dan sebuah tas besar. Sebuah televisi berlayar 21 inch diletakkan di atas lemari itu. Lalu ada segelas air putih dengan sedotan didalamnya dan sebuah teko transparan di atas sebuah meja yang diperuntukkan untuk menaruh makanan, berkaki roda sehingga mudah di geser kesana kemari. Di sampingnya, sebuah tempat tidur khas rumah sakit dipepetkan hingga pojokan, lengkap dengan gagang infus dan tabung oksigen yang ada disebelahnya. Seorang wanita paruh baya tertidur lemah di atas tempat tidur itu dengan mukena yang belum dilepaskannya. Terbatuk-batuk dan sesekali mencoba untuk menarik nafas panjang. Berselimut agak tebal untuk menghangatkan suhu tubuh. Selang oksigen tak lepas dari hidungnya, tersambung dengan tabung oksigen yang ada di samping tempat tidur, membantu menambah oksigen yang masuk ke dalam paru-parunya. Aku melihat isi termos di atas meja yang ada di sampingku. Isinya mungkin tak sampai setengah gelas, sehingga harus segera diisi. Aku berdiri dan perlahan melangkah berjalan ke pintu. Sebelum ku rapatkan daun pintu, ku sempatkan melirik ke asal suara yang memanggilku lemah. Wanita yang ku panggil ibu itu telah terjaga dan memandangiku. Ia tersenyum. Aku balas menatapnya dan tersenyum pula. “aku keluar sebentar, Bu”. Lalu ku rapatkan perlahan daun pintu ruang yasmin nomor 5 itu.

Selasa, 14 Juni 2011

Miss U Mom...

Semburat mega merah mulai memudar
Sang senja mulai berlalu
Berganti malam yang mulai menyulam
Diserati kilatan-kilatan bercahaya
Sang hujan ingin menyapa...
Tak seperti bulan yang malam ini bersembunyi,
Ada yang muncul dengan kontras tanpa kuduga...
Layaknya malam yang selalu menantikan bulan,
Ataupun siang yang menunggu mentari,
Dan kini hatiku yang merindu...
Merindukan dia yang lebih harum dari kesturi
Lebih indah dari bunga
Lebih putih dari salju
Lebih lembut dari awan
Lebih manis dari madu
Lebih merona dari rembulan
Bahkan lebih bercahaya dari mentari
Ya ! Aku merindukannya !
Ingin merasakan lagi harum nafasnya, teduh pandangannya, lembut sentuhannya, halus belaiannya, hangat pelukannya, indah kecupannya...
Aku... Sungguh sangat merindukannya... !
Allah... Sampaikan salam rinduku yang hanya bisa kutitipkan lewat do’a pada- MU untuknya agar selalu teruntai cahaya...
Allah... Sungguh aku merindukannya yang takkan pernah kutemui lagi kelembutan kasih sayangnya...
Karena memang tiada lagi yang lain yang bisa menggantikannya...
UMMI...




Ba’da maghrib
Laily Sayyiz @ sabt_230411