Kamis, 01 Mei 2014

jeprat jepret

Sunset, sunshine, just like rainbow. Yeah just like you mom ^_^

Semua Gara-Gara Kucing!

“Hatchim...” Sudah tiga kali Ayra bersin-bersin gara-gara kucing yang terus membuntutinya sejak Ia pulang kuliah. Sebenarnya, awalnya kucing itu ada di perempatan jalan. Tapi entah kenapa ketika Ayra lewat ia langsung mengikutinya. Mungkin karena mencium bau yang berasal dari kantong kresek hitam yang dibawanya, isinya pecel ikan lele yang barusan dibeli Ayra untuk lauknya makan malam. “Aduuh nih kucing, ga tau apa kalo gue alergi ama bulunya?” Omelnya pada kucing yang sudah jelas memang tidak tau. Tapi kucing itu masih saja nongkrong di depan kamar kos Ayra. Seekor kucing berwarna putih bersih, yaa sedikit kotor-kotor sih, tapi kucing itu tak seperti kucing pinggir jalan biasanya. Terlihat seperti terawat tapi lama tidak dibersihkan. Kucing itu terus saja mengeong di depan pintu kamar kos Ayra. Sesekali Ayra menengok dari jendela sambil melahap makan malamnya. Dan akhirnya Ayra menyerah, dibukanya pintu kamar. Tiap Ayra membuka pintu kamar, kucing itu bangkit dari duduknya seperti seorang tamu yang sudah dipersilahkan masuk. “Udah udah sana dooong.” Hatchimm… “Gak ada. Gak ada makanan disini.” Omel Ayra. Tapi si kucing membalasnya dengan mengeong lagi seolah menjawab Ayra. “Iya deh. Iya. Abis males sih. Kamu kalo dikasih pasti minta lagi.” Hatchimm… Ayra kembali bersin-bersin. Si kucing tentu saja masih menjawabnya dengan mengeong. “Ampun deh. Ya udah, tunggu di sana. Di sana lho di sana. Ntar aku ambilin. Tapi tunggu di sana.” Untungnya si kucing menurut pada perintah Ayra. Dan duduk di ujung lororng seperti yang ditunjuk telunjuk Ayra. Gara-gara kucing itu malam ini Ayra membagi makanannya. Tak lama Ayra keluar dengan sepotong kepala lele goreng di tangannya. Ia melempar asal ke dekat kucing yang langsung melahapnya. Buru-buru Ayra tutup kembali pintunya dengan rapat. Takut sampai si kucing masuk. “Hadeeeh… Kalo bukan karena kamu salah satu binatang kesayangan Rosulullah mah males aku.” Masih celoteh Ayra. *** Pagi itu Ayra presentasi di jam pertama, sambil grasak-grusuk Ia mengunci pintu kamarnya. Hatchimm… Ayra tiba-tiba bersin. “Tuh kucing ngapain masih di situ aja sih.” Sontak Ayra kembali bersin-bersin. Di ujung lorong kosan si kucing putih yang semalam masih terduduk di situ. Buru-buru Ayra pergi menjauh. Tapi kucing itu malah mengikutinya dari belakang. Ayra menengokkan kepalanya ke belakang, si kucing masih saja mengikutinya. Ayra sedikit berlari kecil, lalu berjalan seperti biasa lagi. Pelan-pelan dia melirikkan sedikit matanya, kucing putih itu masih saja di mengikutinya. “Stop! Diem di situ! Duduk!” perintah Ayra. “Iya, bener. Bener di situ. Jangan ngikutin gue ke kampus. Oke?!” Tanpa sadar orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar Ayra memperhatikannya. Ayra cengengesan malu-malu. Alah apa banget sih tuh kucing, masih gerutunya dalam hati sambil terus berjalan ke gerbang samping kampus yang jaraknya lebih dekat dari kosannya ketimbang gerbang utama. *** “Raaaaaaa…” Panggil salah satu teman dekatnya, Nepha. “Opo seh pha?” Ayra masih setengah mengacuhkannya, sibuk dengan gadget di tangannya. “Alaaah sok iye lu, noh!” teman yang satunya, Meta, menengokkan kepala Ayra dengan kedua tangannya ke arah lelaki yang ada di ujung koridor kelas, sedang duduk mengobrol bersama teman-temannya. “Hihihi…” Ayra langsung nyengir malu-malu. “Eh, eh tapi denger-denger katanya dia deket sama si Helwa lho. Ehemm ada yang kecewa nih.” Nepha melirikkan mata meledek Ayra. “Ooo… Terus urusannya sama gue apa?” Ayra sok sibuk lagi dengan gedgetnya. “Empreeet. Apa urusannya, apa urusannya, di dalemnya mah udah merembes tuh. Hahaha” kali ini Meta yang meledeknya. Ayra hanya membalasnya dengan tertawa bersama mereka. *** Dibuat kaget Ayra dengan kucing yang tiba-tiba muncul dari balik pintu pagar samping kampus yang biasa dia lewati. Masih kucing putih yang tadi, yang semalam. “Hatchimm..” Ayra mulai bersin-bersin lagi. “Astagfirullah nih kuciiiiiing. Apaan lagi sih?” Kucing itu hanya menjawab dengan mengeong. “Ampun deh. Ya udah, tapi jaraknya jangan deket-deket. Yah?!” Kembali kucing putih itu mengikuti Ayra dari belakang. Dan begitulah terus hingga beberapa minggu kemudian. Tiap Ayra pergi ke kampus, kucing putih itu mengikuti Ayra, seperti orang tua yang mengantarkan anaknya ke sekolah, menunggu di gerbang samping kampus sampai Ayra menjauh dari pandangannya, lalu berbalik kembali lagi ke ujung lorong kosan Ayra. Siang harinya, kucing putih itu kembali menunggu lagi di gerbang samping kampus sampai Ayra muncul, bahkan walaupun itu hingga malam hari. “Ra, itu kucing siapa sih? Lo melihara kucing? Bukannya lo alergi ya?” Itu kata Nepha yang akhirnya menanyakannya, karena akhir-akhir ini setiap main ke kosan Ayra selalu ada kucing putih itu yang langsung mengikuti dan menunggui mereka dari luar. “Toh bukan gue yang minta kucing itu begitu, hehe…” Ayra sebenarnya heran, tapi dia tidak mau terlalu memikirkan. Apalagi entah sejak kapan Ayra jadi merasa kesepiannya berkurang karena ada kucing itu yang mengikutinya. Gara-gara Si kucing itu juga Ayra sudah terbiasa selalu membagi makanannya, termasuk membagi cerita. Yah walaupun dia tidak bisa dekat-dekat dengan kucing itu karena Ayra alergi bulunya. Dan belakangan ini kucing putih yang dinamai Ayra dengan nama Emput itu tidak lagi duduk atau tidur di ujung lorong. Ayra sudah membolehkannya agak mendekat, tapi masih di luar kamarnya. *** Ayra melihat laki-laki itu berjalan dengan salah seorang teman sekelas Ayra, Helwa. Gadis cantik keturunan arab, pintar, mumpuni, eksis. Mengobrol asyik sambil sekali-kali tertawa, membuat Ayra hanya bisa merengut melihatnya dari kejauhan. “Hayo lhooo…” Teriak Meta mengagetkannya dari belakang. “Ketauankan, ngeliatinnya biasa aja kaleee. Hahaha” Ledek Nepha selanjutnya. “Apaan sih.” Ayra pura-pura tidak tahu. “Yaelah Ra, makanya, jangan cuma ngeliatin dia dari jauh doang. Emangnya dia sinetron, yang cuma lu tontonin doang gitu?” Kata Nepha sambil merangkul pundak sahabatnya. “Masa udah dua tahun gak ada kemajuan sih? Gitu-gitu aja.” Lanjut Nepha. “Yaah, namanya juga Ayra. Coba deh, pikir deh, gimana coba orang itu bisa tau kalo lo aja beraninya cuma nontonin dia doang. Orang mah nyapa kek seenggaknya.” Timpal Meta kali ini. “Idih apaan lu Met, biasanya juga lu diem. Hehe” Ayra coba mengalihkan pembicaraan. “Eh bener tuh katanya Meta. Boro-boro mau kenal deket, dia tau nama lo aja nggak.” Ternyata gagal usaha Ayra. “Hzzzz, udah ah udah. Apaan si…” “Hahay ada yang ngeles tuh.” “Udah deh sesame jones gak usah banyak ngomong, hahaha” Tutup Ayra sambil berlari ke dalam kelas. Iya, laki-laki yang sudah diperhatikan Ayra dua tahun belakangan ini, memang tidak Ayra tahu apa dia benar-benar mengenal Ayra juga apa tidak. Pertama kali Ayra mengenalnya adalah ketika mereka mengikuti pelatihan kepenulisan yang sama, dulu ketika awal Ayra menjadi mahasiswa di kampusnya. Itu juga bukan karena mereka memang benar berkenalan, tapi karena mereka satu kelompok kajian saja dan kebetulan laki-laki itu ditunjuk untuk memberitahu kiat-kiat menulisnya, sehingga sudah pasti dia menyebutkan namanya. Namanya Zein, senior dua tahun diatas Ayra. Gedung kelasnya sama, jurusannya pun sama, jadi mereka sering berpapasan kalau di kampus. Hanya saja Ayra tidak berani menyapanya ketika mereka berpapasan muka. Pasti Ayra hanya memalingkan wajahnya, pura-pura tidak lihat. Lagi pula, apa pantasnya dia dengan Kak Zein dengan segudang prestasinya. Jauhlah, pikirnya. Tapi justru karena itulah, Ayra semakin 'mengamati' nya. *** “Ra, itu kucing kenapa tumben ngikutin lo sampe dalem kampus?” Tanya Nepha penasaran ketika melihat Ayra datang dibuntuti Emput, si kucing putih. “Nggak tau ah, males juga gue nyuruh-nyuruhnya. Buang tenaga.” “Lah elu, kok masuk? Emang udah sembuh?” Kini Meta mengalihkan pembicaraan. “Panasnya sih udah turun dari kemaren juga, tinggal lemesnya. Tapikan hari ini kan gue presentasi.” Jawab Ayra lagi. Sampai di depan kelasnya, Ayra berbalik ke arah si kucing putih, “Mput, tungguin sini yah. Kucing gak boleh ikut kuliah, hehe” Perintah Ayra sekenanya. Tapi kali itu Emput tidak menurut. Kucing itu malah berlari ke arah kelas lain. Ayra heran dan langsung mengejarnya, “Eeh Mput, jangan ke situ… mau keman…a?” Ayra kaget kebingungan. Kucing putih itu mendekati Zein yang ada di depan kelas, merangsek manja kepadanya. Adduh! Mak.. Ayra bingung dan mulai grogi. “Ron??? Akhirnya… kamu kemana aja dicari-cari?” Zein malah menyambut kucing itu hangat. Bahkan langsung mengangkatnya ke pangkuan. Dia terlihat seperti pemelihara sebenarnya kucing putih itu. “Hah???” Ayra makin terkaget-kaget. Jadi, itu kucingnya Kak Zein? “Iya, ini kucingku.” jawab Zein seolah tau apa yang mau ditanyakan Ayra. “Udah sebulanan ini ilang. Jadi selama ini kamu yang merawatnya?” Lanjutnya. Ayra cuma bisa mengangguk kaku. “Eh, tadi kamu manggil Ron siapa? Emput? Hahaha” Tawa Zein pecah karena nama baru yang diberikan untuk kucingnya. “Yaah, mana gue tau kalo dia cowo…” Jawab Ayra setengah berbisik malu. Jadi? Itu kucingnya Kak Zein? Dan sekarang gue lagi ngomong sama Kak Zein? Gara-gara kucing itu? Bisik Ayra dalam hatinya, masih tak percaya. “Shhutt, udah ada dosennya hoi,” teriak Meta memberitahukan. Dan seolah membangunkan dari mimpi indah bagi Ayra. Ayra langsung berbalik tanpa berkata apa-apa pada Zein dan Emput. Atau Ron lebih tepatnya. “Eh, makasih ya…” suara ka Zein menghentikan langkah Ayra dan membuatnya membalikkan setengah badannya, “… Ayra Nafishaa.” Senyum Zein terkembang. Ayra kaget, matanya terbelalak. Hampir saja dia tidak bisa menahan teriakan bahagianya. Ayra hanya mengangguk membalas senyuman dan berbalik. Ayra berlari sambil berteriak kegirangan tanpa suara. DIA TAU NAMA GUE, DIA TAU NAMA LENGKAP GUEEE… Meta dan Nepha hanya bisa tersenyum melihatnya. Akhirnya… ***