Selasa, 22 April 2014

221213

"Alhamdulillaaah..." Kurapikan buku-buku yang tersebar tak beraturan di sekelilingku. Akhirnya tugas yang sudah kukerjakan sejak sore tadi rampung terselesaikan. Karena terlalu asiknya mengerjakan tugas, sebenarnya karena deadlinenya pun esok hari, tak terasa sekarang sudah pukul 12 malam. Tentulah di luar langit sangat gelap, tak ada lagi suara-suara bising seperti siang hari. Benar-benar sepi sunyi. Udara dinginnya pun sudah terasa menyentuh kulit. Inginnya aku langsung merebahkan badan di kasurku, tapi mataku yang mulai berat masih tak mau terpejam. Iseng kubuka-buka salah satu akun sosial mediaku yang sudah on dari tadi namun belum sempat kukotak-katik. Berderet status yang tampil di beranda, setelah kubaca-baca baru sadar aku kalau hari ini tanggal 22 Desember, Hari Ibu. Kartu-kartu ucapan, video, rangkaian kata-kata yang diposting teman-teman sosial media kuperhatikan satu demi satu. Aku menghela napas panjang. Ada semburat kerinduan yang tiba-tiba muncul. Terasa ada yang mulai menggelayut di mataku yang lama-kelamaan memburamkan penglihatanku. Kuseka kedua mataku sebelum airmata menetes. Anganku melayang pada memori 22 Desember beberapa tahun yang lalu, tepatnya enam tahun yang lalu. Tersenyum getir aku mengingatnya, kenangan lucu yang indah sekaligus memerikan hati untuk diingat. Baru kali itu aku merasa perlu memberikan sesuatu pada momen Hari Ibu. Walaupun aku tahu untuk memberi kepada Ummi bisa kapan saja tanpa perlu menunggu momen-momen seperti ini. Tapi aku merasa hanya perlu saja. Ingin. Ingin ikut merasakan bagaimana rasanya mengucap Hari Ibu bahkan jika hanya lewat tulisan dikarenakan aku malu mengatakannya. Kira-kira sudah dari dua minggu sebelumnya aku mendapatkan ide itu. Dan dari sejak dua minggu itulah aku berusaha mengumpulkan uang jajanku yang tak seberapa karena kami memang berasal dari keluarga sederhana. Jauh-jauh hari aku bingung memikirkan, "apa yah yang ingin kuberikan pada Ummiku?" Sampai akhirnya ketika aku menonton sebuah acara di televisi, ada tayangan iklan produk susu di deretan jeda komersial. Susu formula untuk usia 50 tahun ke atas. "Aku ingin ummiku sehat, aku ingin ummiku minum susu itu. Aku akan membeli susu itu." Begitulah pikirku yakin waktu itu. Kutabung benar uang bekalku yang Ummi berikan tiap sebelum aku berangkat ke sekolah. Setiap paginya aku diberi bekal sekitar enam ribu rupiah jika dengan ongkos naik angkot dan ojeg. Sesekali ketika matahari tak terik menebar sinarnya, aku mengalah untuk tidak menggunakan ojeg, berjalan kaki saja, supaya uang ongkos ojeg itu bisa aku gunakan untuk tambahan menabung. Lalu akhirnya, tepat satu hari sebelum Hari Ibu, sepulang sekolah aku mengajak sepupu perempuan yang sangat dekat denganku pergi ke sebuah swalayan yang tak begitu jauh dari sekolah untuk membeli susu itu dengan berbekal uang Rp. 25000 di dalam saku. Sampai di sana, aku sudah menemukan susu yang ingin kubeli, berderet rapi di tempatnya. Tapi aku kecewa, harga yang tertera di pinggiran rak adalah Rp. 50000. "Uangku gak cukup untuk membelinya, fir.." kepalaku tertunduk lemas. "Udah gak apa-apa, kita cari kado yang lain." Hibur sepupuku waktu itu. Sesal juga rasanya di hatiku, coba saja aku menabung dari sebulan sebelumnya, mungkin uangnya akan cukup atau bahkan lebih. Mau tak mau aku cari saja kado yang lain. Mencari-cari mungkin sudah lebih dari satu jam, tak juga kutemukan apa yang cocok untuk kuberikan pada Ummi. Sampai akhirnya entah kenapa waktu itu aku menjatuhkan pilihanku pada seperangkat sisir berbagai tipe yang dikantongi dengan tas berbahan plastik transparan. Entahlah, dalam benakku saat itu, Ummi sering mencari-cari sisir ketika ingin menyisir rambutnya yang mulai beruban. Mungkin karena Ummi lupa atau aku yang sembarangan menaruh sisirnya setelah meminjamnya. "Kalau Ummi punya banyak sisir akan lebih mudah, apalagi ada tasnya seperti ini. Ummi juga bisa pilih-pilih sisir yang cocok dan enak dipakai." Hanya dengan kesimpulan sesimpel itulah yang terlintas di benakku saat itu sehingga akhirnya aku membeli sisir itu. Tak enak hati juga aku kepada sepupuku kalau terlalu lama menemaniku. Keesokan harinya, malam tanggal 22 Desember enam tahun yang lalu, ketika Ummi menonton televisi, aku memeluknya dari belakang sembari kusodorkan seperangkat sisir yang sudah kubungkus dengan kertas kado sebelumnya. "Selamat Hari Ibu, Mi." Malu-malu kuucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang jarang terdengar di lingkungan keluargaku, karena aku ataupun keluargaku tidak biasa melakukan hal yang seperti itu. Waktu itu Ummi menerimanya dengan ungkapan sangat senang. Wajahku menunduk karena malu sehingga tidak bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah Ummi. Apalagi ketika bungkusan kado itu dibuka, aku takut sekali Ummi tidak menyukainya atau malah menertawakannya. "Terima kasih Ma'wa sayang... Terima kasih banyak." Ternyata itu kata Ummi sambil memelukku. Kuberanikan menatap wajah Ummi, matanya berkaca-kaca, dan ekspresinya seperti tidak bisa berkata apa-apa lagi sehingga terus berucap terima kasih. "Maaf Ummi, Ma'wa cuma bisa kasih ini." "Gak apa-apa Ma'wa, Ummi benar-benar butuh kok sisir ini. Jadi tidak harus cari-cari sisir lagi kalo mau nyisir rambut." Kata Ummi lagi membuatku lega. Lalu kupijat kedua pundak Ummi, seperti yang biasa kulakukan tiap malam sebelum beliau tidur karena kata Ummi pijatanku enak. Dan obrolan kami pun terus berlanjut hingga akhirnya Ummi tertidur. Senangnya aku hari itu, 'misi' terlaksana dengan baik. Tentu saja aku tahu kado yang kuberikan di hari itu, 22 Desember enam tahun yang lalu, adalah kado pertama yang aku berikan sebagai hadiah Hari Ibu. Tapi tanpa aku sadari kalau bisa saja itu pun menjadi hadiah terakhir untuk Hari Ibu Ummiku. Dan ternyata memang begitu. Kalau saja waktu itu aku tahu, pastilah tak akan kuhadiahi dengan sesuatu yang tidak membanggakan seperti itu. Kalau saja waktu itu aku tahu, aku akan menabung sebulan atau bahkan berbulan-bulan sebelumnya. Kalau saja waktu itu aku tahu, setidaknya aku akan menghabiskan lebih banyak waktu menyenangkan bersamanya. Hanya yang menyenangkan saja, tanpa membuatnya kesal. Tapi kalau saja waktu itu aku tahu... Ah, ya. Aku lebih memilih untuk tidak tahu. Karena kalau saja waktu itu aku tahu, aku tak akan mampu membayangkan bagaimana hidupku tanpanya. Kuseka lagi bulir-bulir airmata yang kini jatuhnya tak terbendung lagi. Masih sedikit tersedu-sedu namun aku berusaha menahannya agar tidak bersuara. Beberapa menit kulampiaskan kerinduan berkepanjangan itu dengan tangisan yang hanya aku dan Allah yang mengetahuinya. Kutarik napas panjang sedalam-dalamnya berusaha membuat perasaanku sendiri tenang. Kulirik jam dinding yang tergantung di tembok yang ada di hadapanku, pukul 1 pagi. Sebelum kututup laptopku dan membereskan sisa buku juga alat tulis yang masih berantakan, kusempatkan memposting sebuah tulisan pada akun sosial mediaku. "Selamat Hari Ibu, Ummi... Bagai mentari di pagi hari yang muncul dan menyinari bumi dengan cahayanya, begitulah kau dengan cahayamu menyinari hidupku, melengkapi keindahan alam tempatku bernapas, cintamu yang tak hanya seindah pelagi yang hanya datang sesekali, namun sehangat mentari yang terbit di awal kehidupanku, Aku tahu Ummi, walau daun dari pohon waktumu telah habis berguguran, rindangnya kasihmu akan selalu melindungiku, memelukku, tanpa bisa mataku menangkapnya, tanpa mampu panca indraku merabanya..." Tak ingin terlalu larut dalam perasaanku, karena Ummi pernah berpesan untuk tidak sering menangisinya. Segera kututup laptopku dan beranjak tidur. Dengan secuil harapan setidaknya aku bisa bertemu dengannya, Ummiku, walaupun hanya dalam bunga tidur yang bahkan tak nyata.

Jumat, 11 April 2014

sebuah kerinduan

Rindurindurindurindurindu R.I.N.D.U Ejakan itu untukku Ibu Bukankah dulu engkau yang mengajariku mengejanya? Namun mengapa sekarang engkau mengajariku merasakan, Tanpa memberi kunci jawabannya? Lalu bagaimana kudapatkan hasil nilainya? Tak ada yang dapat ku contek disini Ibu Bukankah berarti harus kurangkai rumusnya sendiri? Namun sekian tahun aku berkutat Aku hanya itu-itu saja 1 + 1… Bukankah seharusnya 2, Ibu? Sayangnya tetap saja jawaban akhirku sama 1 + 1 = 1 Lalu apakah nilai hasilku, NOL BESAR ?! 07april12

late post from the past

Tersadar. Aku merindukannya. S.E.L.A.L.U…! Terhenyak aku membimbang Bukan lagi pada keraguan Pun ketidak yakinan Namun sejumput kekhawatiran yang merangkak Menjadi sebuah ketakutan Bukan lagi karena penantian Aku masih menunggu jika Ia masih mencoba tuk datang Namun ini semua berhujung pada titik kesucian Itulah yang sangat kutakutkan Aku sadar, mungkin ini tak lagi semurni kesucian Itulah yang sangat kutakutkan Aku takut ini bukan lagi karena-MU Aku takut ini hanya sebuah NAFSU belaka! Ridhokah Engkau dengan ini? Aku hanya takut ini bukanlah yang Kau mau Harus bagaimana aku, Robbi? Yang aku tau sekarang, hanya dia yang bisa mewarnaiku Yang aku mau sekarang, hanya ada dia disisiku dan selalu seperti itu S.E.T.E.R.U.S.N.Y.A ! 07feb12 Yaah finally, thats just from the past. Baca ini jadi berasa bodooh banget. Ya gei ya jijik. Apa yang pada waktu itu dielu-elukan, apa yang pada saat itu diagung-agungkan, ternyata memang hanya sebuah ke bodohan. Yang sangat-sangat tak diharapkan untuk terulang. Untung itu cuma masa lalu dan tidak menjadi masa depan.hahaha Semoga Allah masih memberi peluang untuk mendapatkan yang lebih baik. Aamiin

Kamis, 03 April 2014

Ruang Yasmin Nomor Lima

Ku tarik nafas dalam ketika ku lihat nama ruangan lengkap dengan nomornya yang tertera di bagian atas pintu. Ku genggam pegangan pintu model lama bercat coklat tua, sedikit mendorongnya agar terbuka. Tak banyak perabotan mengisi kamar ini. Barang-barang yang ada pun ditata dengan rapi dan bersih sehingga memberi kesan kamar ini terlihat lebih luas dan lapang. Udara sejuk, bersih, bercampur dengan bau obat-obatan tercium pula seperti di luar kamar ini ataupun ruangan-ruangan di rumah sakit pada umumnya. Tak terdengar suara bising sedikitpun dari sini. Hanya sesekali terdengar derap kaki orang berjalan santai atau terburu-buru dari luar. Begitu tenang. Di depanku, di seberang ruangan, terdapat dua buah sofa. Satu sofa berukuran pendek dan satu lagi berukuran panjang, keduanya ditata berjejer merapat ke dinding. Di atasnya tiga jendela besar terbentang, memberi pencahayaan yang baik untuk kamar berukuran sedang ini dengan tirai putih yang menghiasinya. Sebuah pendingin ruangan di atasnya, yang sesekali dinyalakan. Ku langkahkan kakiku perlahan agar tidak menimbulkan suara, menghampiri sofa panjang yang ada di depanku itu, bermaksud mendudukinya. Tak jauh dari sofa yang ku duduki, sebelah kanannya adalah kamar mandi sederhana berukuran 2x1,5 meter. Di sebelah kiriku, atau pojok kamar ini, sebuah meja kayu berbentuk segi empat yang memiliki laci-laci di bawahnya, ditutupi kain biru dongker bermotif bunga-bunga. Tepat di ujung pandanganku adalah pintu yang tadi ku gunakan untuk masuk. Satu-satunya pintu yang digunakan untuk masuk dan keluar ruangan ini. Di samping kiri pintu itu, ada sebuah kulkas model satu pintu berwarna putih yang mulai memudar. Tak penuh isinya, hanya buah-buahan, beberapa makanan kecil, dan dua botol air mineral satu liter. Seukuran dengan kulkas yang ada disampingnya, sebuah lemari kayu berpintu dua yang hanya berisi beberapa helai pakaian dan sebuah tas besar. Sebuah televisi berlayar 21 inch diletakkan di atas lemari itu. Lalu ada segelas air putih dengan sedotan didalamnya dan sebuah teko transparan di atas sebuah meja yang diperuntukkan untuk menaruh makanan, berkaki roda sehingga mudah di geser kesana kemari. Di sampingnya, sebuah tempat tidur khas rumah sakit dipepetkan hingga pojokan, lengkap dengan gagang infus dan tabung oksigen yang ada disebelahnya. Seorang wanita paruh baya tertidur lemah di atas tempat tidur itu dengan mukena yang belum dilepaskannya. Terbatuk-batuk dan sesekali mencoba untuk menarik nafas panjang. Berselimut agak tebal untuk menghangatkan suhu tubuh. Selang oksigen tak lepas dari hidungnya, tersambung dengan tabung oksigen yang ada di samping tempat tidur, membantu menambah oksigen yang masuk ke dalam paru-parunya. Aku melihat isi termos di atas meja yang ada di sampingku. Isinya mungkin tak sampai setengah gelas, sehingga harus segera diisi. Aku berdiri dan perlahan melangkah berjalan ke pintu. Sebelum ku rapatkan daun pintu, ku sempatkan melirik ke asal suara yang memanggilku lemah. Wanita yang ku panggil ibu itu telah terjaga dan memandangiku. Ia tersenyum. Aku balas menatapnya dan tersenyum pula. “aku keluar sebentar, Bu”. Lalu ku rapatkan perlahan daun pintu ruang yasmin nomor 5 itu.